Musi Rawas – Lajugalo.my.id | Di Musi Rawas, wacana tentang Corporate Social Responsibility atau CSR kembali memanas. Bukan karena keberhasilan programnya, melainkan justru karena banyak warga desa merasa hanya menjadi penonton dari setiap kebijakan yang berjalan.
Perusahaan-perusahaan yang sudah lama beroperasi di wilayah ini, memanfaatkan sumber daya alam dan lahan masyarakat, ternyata tidak banyak memberikan dampak bagi kesejahteraan warga.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, jalan desa tetap berlubang, sekolah banyak yang butuh perbaikan, dan layanan kesehatan masih jauh dari kata memadai.
Bagi masyarakat pinggiran, CSR sering kali hanya muncul dalam bentuk bantuan kecil seperti sembako sesaat atau dukungan untuk kegiatan tertentu. Setelah itu, perusahaan seolah menghilang tanpa jejak.
“Kami hanya tahu kalau ada perusahaan kasih bantuan, tapi itu sebentar sekali. Tidak pernah ada program besar yang membuat hidup kami lebih baik,” keluh seorang warga di Kecamatan Tugumulyo.
Kondisi ini akhirnya menjadi sorotan DPRD Musi Rawas. Dalam pembahasan di ruang sidang, anggota dewan menyuarakan kritik tajam terhadap pelaksanaan CSR yang dinilai tidak transparan dan tidak menyentuh kebutuhan warga.
Mereka menegaskan bahwa masalah utama terletak pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan, yang dinilai lemah karena tidak ada kejelasan mengenai kewajiban dana CSR dan siapa yang berhak mengawasi.
Pasal-pasal dalam perda tersebut bahkan membuat DPRD tidak memiliki peran langsung dalam pengawasan, sehingga perusahaan bisa menyalurkan CSR sesuai keinginan mereka sendiri.
Akibatnya, masyarakat tetap dalam posisi menunggu, tanpa tahu kapan dan bagaimana mereka bisa merasakan hak yang seharusnya dijamin oleh aturan.
Sebagai langkah serius, DPRD pun mengajukan revisi perda melalui Raperda inisiatif. Kali ini, mereka menggandeng Kejaksaan Negeri Musi Rawas agar landasan hukumnya semakin kuat.
Raperda baru ini ditargetkan mampu memastikan CSR sejalan dengan program prioritas daerah, sebagaimana tertuang dalam RPJMD. Dengan begitu, dana CSR diharapkan bisa diarahkan untuk pembangunan nyata, mulai dari jalan desa yang layak, sekolah dengan fasilitas memadai, hingga pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat kecil.
Namun, warga masih menyimpan rasa ragu. Mereka khawatir jika revisi perda ini hanya akan berakhir sebagai janji politik yang tidak pernah ditepati.
“Kalau hanya di atas kertas, kami tetap tidak akan merasakan apa-apa. Harus ada kontrol, laporan terbuka, dan perusahaan harus benar-benar ditegakkan kewajibannya,” ujar seorang tokoh masyarakat di Muara Lakitan.
Lajugalo.my.id melihat bahwa isu CSR di Musi Rawas bukan hanya soal dana yang tidak jelas, tetapi juga soal keadilan sosial. Perusahaan yang menikmati hasil bumi Musi Rawas memiliki kewajiban moral dan hukum untuk kembali memberikan manfaat kepada masyarakat.
Pemerintah daerah, terutama DPRD, kini ditantang untuk membuktikan keseriusan mereka agar CSR tidak lagi berhenti sebagai jargon, melainkan benar-benar menjadi jalan menuju perubahan nyata.
Jika revisi perda benar-benar ditegakkan dengan transparan, masyarakat Musi Rawas berpeluang besar untuk merasakan pembangunan yang lebih adil dan merata. Tetapi jika tidak, warga desa akan tetap berada pada posisi yang sama: menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Red.
Posting Komentar